Kamis, 17 Oktober 2013
Suku Dayak
Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak) adalah nama yang oleh
penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Ada 5 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Tidung dan Paser
Menurut sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan
Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia
(268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).
Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua
nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot
Danum-Ngaju dan rumpun Punan.
Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di
pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Barito tempo dulu.Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang
asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di
Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk
kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan
Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut
Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya
dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau
pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari
bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada
tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya
(Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju
(bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan
untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya
dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di
Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar
dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar
(daerah sungai Kahayan)
dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti
menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun
Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya
non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang
Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang
mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August
Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang
yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada
tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans
(1987), misalnya, menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti
manusia, sementara pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti
pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang
tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa, Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak
dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung
dan Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang
mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu
yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli
itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia.
Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust,
yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok
orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun kemudian,
ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia
sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60
000 dan 70 000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah
dari sekarang dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"),
manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai
benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan.
Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan migrasi
suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir
sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.
Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku
Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke
wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh
Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang
memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak
lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi,
Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian
lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).[32] Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai. Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke
Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat
mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku
323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan
bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan
tersebut pada masa Sultan
Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain
Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap
oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan
Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin
pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka
hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak
langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih
disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan
perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada
tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Pembagian sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang
masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman.
Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis
tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya
405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau
Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada
sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa
yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah
pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku
besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak pada masa kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan
(Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami
pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil
asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang
berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405
sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki
kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak
atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material
seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak),
pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu
dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas
Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak
berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat
dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya
"ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya
faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud adalah Selokng
(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui
Upacara/Ritual Kenyauw.
Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq
yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur
tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah
panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam
sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat
maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan
cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur,
banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik.
Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang
ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah
matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai/Wara
Agama
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama
oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur
masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam
kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama Balian. Agama-agama
asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu
di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya
berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat
Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai
dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di
Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan
Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota
Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan
Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama
Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang
pertama kali di Kalimantan. Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran
agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad
ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang
menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul
hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi
oleh sebagian hukum agama Islam
(seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya
masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan
Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan
kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian
kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi
agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya
perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh
para Biksu di kalangan masyarakat Dayak
misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di
Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim
sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk
Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi
lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen
misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk
Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak
adalah Kaharingan. Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih
beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di
Kalimantan tunduk kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir
Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum
adat Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar,
Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh
agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan
orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan
tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu
menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama
Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama
orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari
Sriwijaya, orang Melayu yang
mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi
menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi
pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[46] Banyak penjabat Dinasti Ming
adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa
asing misalnya bahasa Arab.
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi
Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi
pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang
tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak
menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal
abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama
Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu
masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga
kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir
juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak
laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran
keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas
Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi
kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh
sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835
barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah
pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar.
Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di
Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia
Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
Konflik
Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami
peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun
1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di
Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik
pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah
besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan
resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut
sumber-sumber independen. Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan
kelompok-kelompok Melayu
dan Cina
memerangi para pendatang Madura;
114 orang tewas. Menurut seorang tokoh
masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara
orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura.
Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat,
tetapi media massa membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena
orang-orang Melayu yang terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat
kerusuhan terjadi.
Seni
Tradisional Dayak
Asal Usul
seni tari Dayak adalah: kesenian tari tradisional masyarakat dayak yang
berhubungan dengan latar belakang budaya yang masih terpelihara di antara sub
suku bangsa Dayak secara umum. Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau
Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang
mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya
Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah
ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih
jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak
di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk
kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun
bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami
daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku
besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus
urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka
menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah
Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah
berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku
Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian
juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku
Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan
Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama
seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama
tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah
Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku
Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang.
Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju
dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama
sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama
yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama
yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya”
yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau
perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini
banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi)
yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh
tradisinya.
Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di
banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah
adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun,
dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama
Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga
bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah
adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat
sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah
meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika
dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke
cabang agama Hindu.
Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses
alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat
setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku
terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya
Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan
budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama
Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada
masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik
mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka
(merupakan sentral dagang pada masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan
menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan
mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika
bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke
daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang
kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi
ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat
Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan
dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan,
pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis
terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati
kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam
diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada
penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai
menyebar di Kalimantan Barat.
Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka
percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut:
Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang
tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan
Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa
tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet
Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka
yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya,
mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena
perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah
mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan
sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani
ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di
Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak
yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) pada masa lalu,
hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena
Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak
yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan
keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir
berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu)
ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani
atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya
urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara
lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan
masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan
(istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup
mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang
dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah
tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap
kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah
dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk
Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka
mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun
pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai
pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.
Pembagian Ciri Tari Dayak
Berdasarkan wilayah penyebaran di
Kalimantan Barat
Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang
tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik
dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok
besar, 1 kelompok kecil yakni:
- Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
- Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
- Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
- Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
- Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar
groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena
menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya
Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang.
kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan
Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah
Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung
daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah
Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas,
Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak
Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan,
madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain
desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari
belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga
taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa
balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai
mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung
beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh
(antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang
(antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok
kal-teng), Leboyan.
Latar belakang Tari Dayak Ajat Temuai
Datai
"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic
Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan
jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan /
Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya:
tamu, Datai artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari
yang didalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari
Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung
(diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa
lampau, di antara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me
dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh,
tindakan memenggal kepala musuh ( Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan
Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya ). Tetapi jika mengayau
mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya
(musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya ( mengayau terdiri
dari berbagai macam adatnya di antaranya Kayau banyau / ramai / serang, Kayau
Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak
lebih dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para
pahlawan yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa
kepala manusia ( musuh ), merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai
seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu
diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada
kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi
si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi
pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan
sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari
mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan
cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan
khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti
pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang
masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan
menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya
sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan
penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau
mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar
mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui empat babak
yakni: 1. Ngunsai Beras ( menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang
Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan
Sengalang Burong ), 2. Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau / Nyabor untuk
memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk
wilayah rumah panjai. 3 Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu ataupun
memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai ( rumah panggung yang
panjang ) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini
dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4. Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau
masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam
sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat , setelah melalui prosesi babak
diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri
dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang )
(john Roberto P. 2002.ISI yogyakarta), kemudian baru diadakan Gawai pala' acara
ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa
tarian yang disebut: Tari Ayun Pala, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa
Panglima / Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau ( pemimpin
Kayau ), Tuwak Pangkar Begili